Tafsir Al-Isti’adzah


Tafsir Al-Isti’adzah



Definisi Isti’adzah.



Secara etimologi dia adalah masdhar dari kata اِسْتَعاذَ  -  يَسْتَعِيْذُ  -  اِسْتِعاذًا  yang bermakna permintaan perlindungan dan penjagaan dari sesuatu yang dibenci[1].


Sementara secara terminology, isti’adzah ada empat bentuk:


Isti’adzah ada 4 macam[2]:


  • Isti’adzah kepada Allah Ta’ala.



Yaitu isti’adzah yang mengandung kesempurnaan rasa butuh
kepada Allah, bersandar kepada-Nya, serta meyakini penjagaan dan
kesempurnaan pemeliharaan Allah Ta’ala dari segala sesuatu, baik di
zaman sekarang maupun di zaman yang akan datang, baik pada perkara yang
kecil maupun yang besar, baik yang berasal dari manusia maupun
selainnya.


Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Falaq dan surah An-Naas, dari awal sampai akhir.


  • Isti’adzah dengan salah satu dari sifat-sifat Allah Ta’ala, seperti
    sifat kalam-Nya, keagungan-Nya, keagungan-Nya, kemuliaan-Nya, dan
    semacamnya.



Dalilnya sangat banyak, di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:


أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ


“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan apa-apa yang Dia ciptakan.[3]


Juga sabda beliau:


أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ


“Aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dan berlindung dengan ampunan-Mu dari hukuman-Mu.” (HR. Muslim no. 751)


  • Isti’adzah kepada orang mati atau orang yang masih hidup tetapi tidak ada di tempat dan tidak mampu melindungi.



Ini adalah kesyirikan. Di antara bentuknya adalah seperti pada firman Allah Ta’ala:


وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا


“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara
manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin,
Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.”
(QS. Al-Jin: 6).


  • Isti’adzah dengan apa-apa yang memungkinkan untuk dijadikan
    perlindungan, baik berupa manusia, atau tempat-tempat, atau selainnya.



Isti’adzah jenis ini dibolehkan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala beliau menyebutkan tentang fitnah:


وَمَنْ يُشْرِفْ لَهَا تَسْتَشْرِفْهُ وَمَنْ وَجَدَ مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَعُذْ بِهِ


“Dan siapa yang ingin melihat fitnah itu, maka fitnah
itu akan mengintainya. Siapa yang menemukan tempat pertahanan atau
tempat perlindungan, hendaklah dia berlindung padanya.”
(HR. Al-Bukhari no. 3334 dan Muslim no. 5137)


Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah
memperjelas makna ‘tempat pertahanan atau tempat perlindungan’ ini
dengan sabdanya, “Barangsiapa yang memiliki unta maka hendaknya dia menggunakan untanya (sebagai tempat berlindung).”


Hanya saja, jika seseorang meminta perlindungan dari
kejelekan orang yang zhalim, maka dia wajib untuk dilindungi sekuat
tenaga. Namun jika dia meminta perlindungan agar bisa melakukan sesuatu
yang dilarang atau lari dari kewajiban, maka haram untuk melindunginya.


Dari keempat jenis isti’adzah di atas, yang kita maksudkan
dalam pembahasan ini tentunya adalah isti’adzah bentuk yang kedua dan
yang ketiga, yaitu permintaan perlindungan kepada Allah Ta’ala semua
perkara yang dibenci.


Adapun makna أَعُوْذُ بِاللهِ مِنِ الشَّيْطانِ الرَّجِيْمِ,
maka Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam Tafsrinya, “Aku
berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, jangan sampai dia
memberikan mudharat pada agama dan duniaku, atau dia menghalangi saya
dari mengerakan apa yang diperintahkan kepadaku, atau dia mendorong saya
untuk mengerjakan apa yang aku dilarang melakukannya.”




 Definisi Setan.


Berasal dari kata شَطَنَ yang berarti jauh. Maka sudah menjadi tabiat setan itu jauh dari tabiat kemanusiaan dan jauh dari semua bentuk kebaikan.




Dalil-dalil Dari Al-Qur`an Yang Berkenaan Dengan Isti’adzah Dari Setan.


Allah Ta’ala berfirman:


خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ
الْجَاهِلِينَ. وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ
فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۚ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ


“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. Dan
jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka berlindunglah kepada
Allah.”
(QS. Al-A’raf: 199-200)


Allah Ta’ala berfirman:


ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ ۚ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ. وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ. وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ


“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih
baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah:
“Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syaitan.
Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan
mereka kepadaku.”
(QS. Al-Mu`minun: 96-98)


Dan Allah Ta’ala berfirman:


وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ. وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ


Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba
orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah
menjadi teman yang sangat setia.  Sifat-sifat yang baik itu tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan
yang besar. Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka
mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui
.” (QS. Fushshilat: 34-36)




Letak Ta’awudz Ketika Membaca Al-Qur`an.


Mayoritas ulama berpendapat bahwa ta’awudz dibaca sebelum
membaca Al-Qur`an. Sebagian qurra` ada yang berpendapat dia dibawa
setelah membaca Al-Qur`an, guna menghilangkan perasaan ujub. Dan
sebagian lainnya berpendapat bahwa dia dibaca sebelum dan setelahnya.


Mereka semua berdalil dengan firman Allah Ta’ala:


فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ


Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)


Dan yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama berdasarkan
sebuah hadits riwayat Imam Ahmad dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu
anhu tentang doa istiftah beliau dalam qiyamullail.




Lafazh-Lafazh Ta’awudz:


Berdasarkan ayat-ayat di atas dan juga hadits Abu Said Al-Khudri di atas. Para ulama menyebutkan ada 4 lafazh ta’awudhz:


  1.  أَعُوْذُ بِاللهِ مِنِ الشَّيْطانِ الرَّجِيْمِ

  2.  أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنِ الشَّيْطانِ الرَّجِيْمِ

  3.  أَعُوْذُ بِاللهِ مِنِ الشَّيْطانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ

  4.  أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنِ الشَّيْطانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ





Di Antara Keutamaan Ta’awudz.


Dia bisa menghilangkan amarah, sebagaimana yang tersebut dalam hadits Sulaiman bin Shurad riwayat Al-Bukhari dan Muslim.




Hukum Ta’awudz Sebelum Membaca Al-Qur`an:


Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Dan yang benarnya
adalah bahwa hukumnya sunnah secara mutlak, baik di dalam shalat maupun
di luar shalat.


Dengan dalil bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak
pernah disuruh ta’awudz ketika beliau membaca ayat-ayat yang turun. Dan
beliau shallallahu alaihi wasallam juga tidak pernah membaca ta’awudz
ketika akan membaca ayat pada doa pembuka majelis.




Ta’awudz Dijahrkan Atau Disirrkan?


Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan keduanya boleh di
luar shalat. Adapun di dalam shalat, maka yang rajih adalah disirrkan
karena Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu memulai shalatnya dengan
‘alhamdulillahi Rabbil alamin’ pada surah Al-Fatihah, sebagaimana dalam
hadits riwayat Al-Bukhari.




Ta’awudz di Setiap Rakaat?


Dalam masalah ini Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mempunyai
dua pendapat. Yang lebih tepat insya Allah bahwa ta’awudz hanya
disyariatkan pada rakaat pertama saja. Hal itu karena bacaan Al-Qur`an
di dalam shalat adalah satu bagian, karenanya cukup membaca ta’awudz di
rakaat pertama saja. Wallahu a’lam.








[1] Syarh Tsalatsah Al-Ushul hal. 63, karya Faqih Az-Zaman Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah.




[2] Diterjemahkan secara ringkas dari Syarh Tsalatsah Al-Ushul hal. 63-65




[3] HR. Muslim no. 4881 dari Khaulah bintu Hakim radhiallahu anha.




Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!